Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa , adat yang me...
Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada
entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal, dan identitas agama Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi
daratan Sumatera Barat,
separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi,
pantai barat Sumatera Utara,
barat daya Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia.[3] Dalam percakapan awam, orang
Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota
provinsi Sumatera Barat Kota Padang. Namun,
mereka biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak,
bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.[4]
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih merujuk kepada
kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena
sistem monarki[5] serta menganut sistem adat yang
dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,[6] walaupun budayanya sangat kuat
diwarnai ajaran agama Islam. Thomas Stamford
Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat
kedudukan Kerajaan Pagaruyung,
menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kelak penduduknya tersebar
luas di Kepulauan Timur.[7]
Masyarakat
Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia.[8][9] Selain itu, etnis ini telah
menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan
adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum.
Prinsip adat Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum
bersendikan Al-Qur'an) yang
berarti adat berlandaskan ajaran Islam.[10]
Orang Minangkabau sangat
menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka
merupakan pewaris dari tradisi lama Kerajaan Melayudan Sriwijaya yang gemar berdagang dan
dinamis.[11] Lebih dari separuh jumlah
keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan
pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, Bandar Lampung, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis
Minang terkonsentrasi di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney,[12] dan Melbourne.[13] Masyarakat Minang memiliki
masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang yang sangat digemari
di Indonesia bahkan sampai mancanegara.[14]
1. ETIMOLOGI

Dalam
catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[17] bertanggal 1365, juga telah
menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari
negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga
dalam Tawarikh Ming tahun 1405,
terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang
mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing.[18] Di sisi lain, nama
"Minang" (kerajaan Minanga)
itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri
kerajaan Sriwijaya yang
bernama Dapunta Hyangbertolak
dari "Minānga" ....[19] Beberapa ahli yang merujuk
dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5
(tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan
diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar
Kiri dan Sungai Kampar Kanan.[20] Namun pendapat ini dibantah
oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya
dengan "temu", karena kata temu dan muara juga
dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.[21] Oleh karena itu kata Minanga berdiri
sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
2. ASAL USUL

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan
ke pulau Sumaterasekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai
ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung
halaman orang Minangkabau.[23] Beberapa kawasan darek ini
kemudian membentuk semacam konfederasiyang dikenal dengan nama luhak,
yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang
terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data.[6] Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut
menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen
yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.[5]
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta
membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat
Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.
Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi
atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau
di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan
dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat
budaya matrilineal yang
tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat
Melayu umumnya.[24] Kemudian pengelompokan ini
terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
3. AGAMA

Sebelum Islam diterima secara
luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk
agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa
pemerintahan Adityawarman dan
anaknya Ananggawarman.
Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang
telah mengadopsi Islam dalam sistem
pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari
tiga raja Minangkabau hanya
satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang
dari Mekkah sekitar tahun 1803,[27] memainkan peranan penting
dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau.
Walau pada saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih
terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul
kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.[28]
4. ADAT DAN BUDAYA
Menurut tambo,
sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang
bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk
Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan
Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam
perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini
saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat
Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta
adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang
dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling
melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat
Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.[29]
a) Bahasa
Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan
bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang
dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru
beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu
serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu.[31][32] Selain itu dalam masyarakat
penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek
bergantung kepada daerahnya masing-masing.[33][34]
Pengaruh bahasa lain
yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya
dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil
yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis
menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang
diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum
berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki
bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas.
Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu
dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama.[15] Suku Minangkabau menolak
penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.[35] Bahasa Melayu yang dipengaruhi
baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk
pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu.
Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau
mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan
juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang
digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh
bahasa Minangkabau.[35]
Guru-guru dan
penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi.
Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat
pembentukan bahasa Melayu formal.[36] Dalam masa diterimanya bahasa
Melayu Balai Pustaka,
orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian
bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.[35]
b) Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi
dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat
maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang
dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat
kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian
dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak
tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni
bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa
ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar
ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan
hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur
dengan silekyang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,[37] dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario.[38]
Selain itu,
Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata,
yaitu pasambahan (persembahan),
indang, dan salawat dulang.
Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran,
kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan
senjata dan kontak fisik.[39]
a) Masakan Khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya.
Dengan citarasanya yang pedas, membuat masakan ini populer di kalangan
masyarakat Indonesia, sehingga
dapat ditemukan di hampir seluruh Nusantara.[44] Di Malaysia dan Singapura, masakan ini juga sangat digemari,
begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan, seni memasak yang dimiliki
masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan lain seperti Riau, Jambi,
dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu masakan tradisional
Minang yang terkenal adalah Rendang, yang mendapat
pengakuan dari seluruh dunia sebagai hidangan terlezat.[45][46] Masakan lainnya yang khas
antara lain Asam Pedas, Soto Padang, Sate Padang, dan Dendeng Balado. Masakan ini umumnya dimakan
langsung dengan tangan.
Masakan Minang
mengandung bumbu rempah-rempah yang
kaya, seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Beberapa di antaranya diketahui
memiliki aktivitas antimikroba yang kuat, sehingga tidak mengherankan jika ada
masakan Minang yang dapat bertahan lama.[47] Pada hari-hari tertentu,
masakan yang dihidangkan banyak yang berbahan utama daging, terutama daging sapi,
daging kambing, dan daging ayam.
Masakan ini lebih
dikenal dengan sebutan Masakan Padang, begitu pula dengan
restoran atau rumah makan yang khusus menyajikannya disebut Restoran Padang. Padahal dalam masyarakat
Minang itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda dalam pemilihan bahan dan
proses memasak, bergantung kepada daerahnya masing-masing.
b) Matrilineal
Matrilineal merupakan
salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat
dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta
pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang
dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka
disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar)
dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di
Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum
lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara
dari pihak ibu), dan penghulu (kepala
suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan
sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah).[30] Walau kekuasaan sangat
dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari
keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki
legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
c) Olahraga
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang,
dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi
perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan
kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan
menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olahraga
masyarakat tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang,
bolanya terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang
sampai setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam
hikayat dan novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada
menyinggung masalah olahraga sipak rago ini.
d) Perkawinan

Dalam prosesi
perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding
di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari(menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di
pelaminan. Pada nagari tertentu
setelah ijab kabul di
depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama
kecilnya.[43] Kemudian masyarakat sekitar
akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya
bermulai dari sutan, bagindo atau sidi(sayyidi)
di kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah, pemberian gelar ini
tidak berlaku.
e)
Rumah Adat

Hanya kaum perempuan
bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah Gadang,
sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah
istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di
surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari
komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga
berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Dalam budaya
Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang.
Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh
ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau,
Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai
rumah adat bergonjong.
4.
MINANGKABAU PERANTAUAN
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang
Minang yang hidup di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau
erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo
balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna).
Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan
dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke kubangan juo”.
Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah
asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan
dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis,
dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang.
Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara
di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat
dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga
pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.[53]
Para perantau
biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang
ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau
merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan.
Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat,
namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang
diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung
halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan
memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput
sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan
untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang
sawah.
a) Gelombang rantau
Merantau pada
etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana
banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan
terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[61] Migrasi besar-besaran terjadi pada
abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur
Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan,
hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah
timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di
sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat
keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu, hingga Lampung.[62] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga
Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur
kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal
keluarga Minangkabau di Sulawesi.[63] Gelombang migrasi berikutnya terjadi
pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk
mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan
Hindia Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan,
Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa,
pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7
kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7
kali,[64] dan pada tahun 1971 etnis ini
diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.[65] Kini Minang perantauan hampir
tersebar di seluruh dunia.
b) Jumlah perantau
Etos
merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di
Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32%
orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971
jumlah itu meningkat menjadi 44%.[57] Berdasarkan sensus tahun 2010,
etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan
perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi
orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958
sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau
telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.[58]
Namun tidak terdapat
angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang
ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau
kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang
telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Para perantau
Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia.
Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak
mayoritas. Di Pekanbaru,
perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis
terbesar di kota tersebut.[59] Jumlah ini telah mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.[60]
c) Perantauan
intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang
merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya
Haji Miskin, Haji Piobang,
dan Haji Sumanik.
Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang
murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur
Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek,
dan Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur
Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa.
Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa
dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang
tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang
kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.[66]
d)
Sebab merantau
v Faktor Perang
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan
masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri,[28] muncul pemberontakan di
Batipuh menentang
tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927.[77] Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran
masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[65] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini,
memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan.
Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu
mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya
menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[78] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara
mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang
melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak
mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche
Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung
ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan
orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja
dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal
meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.[51]
v Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak
diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu
hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama,
karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya
kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau
mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau,
biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang.
Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu,
perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh
kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan
pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku
terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi,
semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[69] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau
emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum
Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.[70]
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa
masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam
perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di
Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa
emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman
(Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan
Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera,
merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.[71]
Dalam prasasti yang
ditinggalkan oleh Adityawarman disebut
bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab,
mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[72]dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih
menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.[73] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk
menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau
dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja
Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu
pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.[74]
Sementara itu dari
catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan
emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para
pendulang emas.[75] Sampai abad ke-19, legenda akan
kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia
tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui
pesisir barat Sumatera.[76]
v Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu
penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan
harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini
cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat
tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum
perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang
pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau
kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang
tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh
teman-temannya.[67] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria
Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim
merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang,
meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme
dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan
berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada
masyarakat Minangkabau.[68] Semangat untuk mengubah nasib dengan
mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau
madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno
balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
v Merantau Dalam
Sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering
menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka,
dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup
perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan
Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak
perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh
masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain
novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau
Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda
perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar
di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang
berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk
membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita
tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis
kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel,
kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
5.
SOSIAL KEMASYARAKATAN
a) Kerajaan
Dalam laporan De
Stuers[51] kepada pemerintah Hindia Belanda, dinyatakan bahwa di daerah
pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat
di bawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari
kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.[52]Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan
pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat,
etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan
daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya.
Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung,
dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan
komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat
Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk
menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi
masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
b) Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom
dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan
politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang
berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin
oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di
nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan
peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat
Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari,
kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.[48] Oleh karenanya setiap kepala
kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling
tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah
dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri
yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi
pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut
dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun,
kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang
menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah
terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[6] Selanjutnya sebagai pusat
administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus
sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di
nagari tersebut.
c) Penghulu
Penghulu atau biasa
yang digelari dengan datuak, merupakan kepala
kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua
permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara
anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang
laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki
posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka
kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari.
Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai
sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta
permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah
keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota
kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.[49] Hal ini mengakibatkan
berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat
nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan
berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga
tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.[50]
d) Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis
dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat
bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian
suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila
telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang
sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang
sama.[6]
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis
dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga,
harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai
harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota
kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat
menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk
melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga
yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat
digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang
lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang
paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik.
Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.[3]
6.
ORANG MINANGKABAU DAN KIPRAHNYA
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar,
oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara
dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan
jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau
merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.[58] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun
2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan
orang Minang.[79] 3 dari 4 orang pendiri
Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.[80][81]
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih
ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai
daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo
mendirikan Kesultanan Sulu di
Filipina selatan.[57] Pada abad ke-14 orang Minang
melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja
untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16 atau awal
abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang
Parangan, Dato ri Bandang, Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa
Tenggara.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di
Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri, banyak melahirkan aktivis yang
berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia
berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan
kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk
wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh
rakyat Hindia Belanda.
Di dalam Volksraad, politisi asal
Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang
lainnya Mohammad Hatta,
menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi
menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, Rizal Ramli dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang
Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari
dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia
didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai
dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah dan
Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang
(Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang
dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani, Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad(Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[82]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi
Minang. PARI dan Murba didirikan
oleh Tan Malaka, Partai Sosialis
Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad
Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman
ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik,
politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib
para aktivis pergerakan.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa
dan sastra Indonesia.
Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan
keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka,
dan A.A Navis berkarya melalui penulisan
novel. Nur Sutan Iskandar novelis
Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling
produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi.
Serta Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain,
dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa
menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang
seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah
menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa
Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivaiyang dijuluki sebagai Perintis Pers
Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting
Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di
Indonesia.
Di
samping menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol
di bidang intelektualisme.[83] Kebiasaan mereka yang suka
berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran,
humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya memberikan sumbangan besar
terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah, dan Azrul Azwar.
Di
Indonesia dan Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai
pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan
tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di
antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief
Corporation), Basrizal Koto(pemilik
peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil
pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri
Abdullah (pemilik Melewar CorporationMalaysia).
Banyak
pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara,
produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan
produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film
dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi
Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Dorce Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu
kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di
Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan
paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada
tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga
Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang
sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak
Sekolahan.
Di
Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada
tahun 1723, Sultan
Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya
mendirikan Kerajaan Siak di
daratan Riau.[84] Di awal abad ke-18, Nakhoda
Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang.[85] Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung untuk
memimpin rantau Negeri Sembilan.
Ia juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung,
yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa
kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya
adalah Ahmad Boestamam yang
mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Parti Komunis Malaya.
Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama
Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz,
dan Abdul Samad Idris,
duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar
Shukor(astronot pertama Malaysia), Muhammad
Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama
terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang
kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers
Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos
Abdullah dan Abdul Rahim Ishak muncul sebagai politisi
Singapura terkemuka, Yusof bin Ishakmenjadi presiden pertama
Singapura, dan Zubir Said menciptakan
lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa
tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai
Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota
parlemen Belanda.[86] Di Arab Saudi, Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam
besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh
Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World
Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Sementara itu Azyumardi Azra, menjadi orang pertama di luar
warga negara Persemakmuran yang
mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.[87]
7.
REFERENSI
*
^ [1] Minangkabau
people. Encyclopædia Britannica. ©2015
Encyclopædia Britannica, Inc. Diakses pada 14 Maret 2012.
*
^ Kewarganegaraan,
Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus
Penduduk 2010 (PDF). Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses
tanggal 2012-08-24.
*
^ a b De
Jong, P.E de Josselin (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan:
Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhartara.
*
^ Kingsbury, D.; Aveling, H.
(2003). Autonomy and Disintegration in Indonesia. Routledge. ISBN 0-415-29737-0.
*
^ a b c Navis, A.A. (1984). Alam
Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti
Pers.
*
^ a b c d Batuah,
A. Dt.; Madjoindo, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya.
Jakarta: Balai Pustaka.
*
^ Reid, Anthony (2001).
"Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern
Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3):
295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
*
^ Evers, Hans Dieter; Korff, Rüdiger
(2000). Southeast Asian Urbanism. LIT Verlag Münster: Ed.2nd.
hlm. 188. ISBN 3-8258-4021-2.
*
^ Ong, Aihwa; Peletz, Michael G.
(1995). Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in
Southeast Asia. University of California Press. hlm. 51. ISBN 0-520-08861-1.
*
^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng;
Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious
Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina
Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural
Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies.
hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0.
*
^ Graves, Elizabeth E. (1981). The
Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century. Itacha, New
York: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
*
^ a b Djamaris,
Edwar (1991). Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
hlm. 220–221. ISBN 978-979-1477-09-3.
*
^ Hill, A.H. (1960). Hikayat
Raja-raja Pasai. London: Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland.
*
^ Brandes, J.L.A. (1902). Nāgarakrětāgama;
Lofdicht van Prapanjtja op Koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit,
Naar Het Eenige Daarvan Bekende Handschrift, Aangetroffen in de Puri te
Tjakranagara op Lombok.
*
^ Geoff Wade, translator, Southeast
Asia in the Ming Shi-lu: an open access resource, Singapore: Asia Research
Institute and the Singapore E-Press, National University of Singapore.
*
^ Casparis, J.G. De (1956). Prasasti
Indonesia II. Bandung: Masa Baru. Dinas Purbakala Republik Indonesia.
*
^ Raffles, T.S. (1821). Malay
Annals. Penerjemah: John Leyden, Longman, Hurst, Rees, Orme, dan
Brown.
*
^ Andaya, L.Y. (2008). Leaves
of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. University
of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6.
*
^ Abdullah, Taufik (1966).
"Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau". 2 (2):
1–24. doi:10.2307/3350753.
*
^ Syamsu As, Muhammad (1996). Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Lentera Basritama. ISBN 9798880161.
*
^ Azra, Azyumardi (2004). The
Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian
and Middle Eastern "Ulamā" in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
*
^ Koning, Juliette (2000). Women
and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices.
Routledge. ISBN 0-7007-1156-2.
*
^ Garry, J.; R., Carl; Rubino, G.
(2001). Facts About the World's Languages: An Encyclopedia of the
World's Major Languages, Past and Present. H.W. Wilson. ISBN 0-8242-0970-2.
*
^ Medan, Tamsin (1985). Bahasa
Minangkabau Dialek Kubuang Tigo Baleh. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
*
^ a b c Khaidir
Anwar (1976). "Minangkabau, Background of the Main Pioneers of Modern
Standard Malay in Indonesia". Archipel. 12: 77–93.
*
^ Sneddon, James (2003). "The
20th Century to 1945". The Indonesian Language: Its History and
Role in Modern Society. Sydney: UNSW Press. hlm. 94. ISBN 0-86840-598-1.
*
^ Phillips, Nigel (1981). Sijobang:
Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-23737-6.
*
^ Pauka, K. (1998). Theater
and Martial Arts in West Sumatra: Randai and Silek of the Minangkabau. Ohio
University Press. ISBN 978-0-89680-205-6.
*
^ Graves, Elizabeth E. (2007). Asal
usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-661-1.
*
^ Sayuti, Azinar; Abu, Rifai
(1985). Sistem Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif
Manusia Terhadap Lingkungan Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
hlm. 202.
*
^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar
Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-Siswa SMP Negeri
Solok Masa Revolusi, 1946-1949.
*
^ Owen, Sri (1994). Indonesian
Regional Food and Cookery Doubleday. London dan Sydney: Frances Lincoln
Ltd. ISBN 978-1862056787.
*
^ Pudji Rahayu, Winiati. "Aktivitas
Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri Terhadap Bakteri
Patogen Perusak".
*
^ a b De Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (30
Agustus 1825). Laporan Kepada Gubernur Jendral. hlm. 33. Exhibitum.
24 Agustus 1826. No. 41.
*
^ Bonner, Robert Johnson
(1933). Aspects of Athenian Democracy Vol. 11. University of
California Press. hlm. 25–86.
*
^ "Tabel
Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI Jakarta". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2012-03-11.
*
^ "Key
Summary Statistics For Local Authority Areas, Malaysia 2010" (PDF).
Diakses tanggal 2012-06-14.
*
^ a b Kato,
Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah.
Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
*
^ Andaya, Barbara Watson
(1997). Recreating a Vision. Daratan and Kepulauan in Historical
Context. hlm. 503.
*
^ Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
*
^ Dobbin, Christine. Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784–1847.
*
^ "Melayu-Bugis-Melayu
dalam Arus Balik Sejarah". www.rajaalihaji.com. 2008-12-24.
Diakses tanggal 2011-07-22.
*
^ Castles, Lance (1967). Religion,
Politics, and Economic Behaviour in Java: The Kudus Cigarette Industry.
Yale University.
*
^ Radjab, Muhammad (1950). Semasa
Ketjil di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau.
Jakarta: Balai Pustaka.
*
^ "Prof. Dr.
H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi Merantau". ANTARA. 2008-11-05.
Diakses tanggal 2011-07-22.
*
^ A., Tobler (1911). Djambi-Verslag.
Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie: Verhandelingen. XLVII/3.
*
^ Raffles, Sophia (1830). Memoir
of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J.
Murray.
*
^ a b Kahin,
Audrey R. (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan
Politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
*
^ "Budaya Merantau Orang Minang
(1) Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan" Periksa nilai |url= (bantuan). Pos Metro Padang. 2008-10-10. Diakses tanggal 2011-07-24.[pranala nonaktif]
*
^ Azyumardi, Azra (2008). Membangkik
Batang Tarandam, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa.
Mizan.
*
^ Cave, J.; Nicholl, R; Thomas, P.
L.; Effendy, T. (1989). Syair Perang Siak: A Court Poem Presenting the
State Policy of a Minangkabau Malay Royal Family in Exile. Malaysian Branch
of the Royal Asiatic Society.
Komentar